Manajemen Komunikasi dalam CSR dan ESG

Dalam mengomunikasikan isu corporate social responsibility (CSR) dan environmental social, governance (ESG), praktisi komunikasi harus memahami manajemen komunikasi. Mengapa?

Dalam kurun lima tahun terakhir, aspek environmental social, governance (ESG) sudah populer di kalangan investor. Sementara di Indonesia, gaungnya baru mulai terdengar sejak 2021. Dikutip dari investor. id, 30 Maret 2021, indeks ESG Indonesia hanya menempati peringkat ke-36 dari 47 pasar modal di dunia.

Perlahan, tapi pasti, ESG mulai menjadi agenda utama organisasi. Menurut Miftah Faridl Widhagdha, pakar CSR dan ESG, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/2/2023), ESG menjadi penting karena berkaitan erat dengan komitmen perusahaan dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan, baik dalam aspek lingkungan, sosial, maupun tata kelola.

Dalam konteks implementasi, Miftah melanjutkan, antara corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dengan ESG memiliki kaitan erat. Meski tidak semua ESG adalah CSR, namun apabila perusahaan melaksanakan CSR yang sesuai dengan tata kelola yang baik, maka jalan menuju ESG semakin lebar.

Ketika korporasi sudah menaruh perhatian pada ESG, maka tidak ada alasan bagi praktisi komunikasi yang ada di dalam organisasi tersebut untuk tidak memahami makna dan konsep CSR dan ESG kepada seluruh stakeholder-nya. Tujuannya, agar masyarakat yang menjadi target audiens, lebih kritis terhadap barang dan jasa yang mereka konsumsi.

Namun, kata Miftah, upaya praktisi komunikasi mengomunikasikan isu CSR dan ESG tidak mudah karena sering kali dianggap tidak realistis. Terutama, oleh masyarakat yang pragmatis. Untuk menjawab tantangan ini, praktisi komunikasi harus menjadikan isu CSR dan ESG sebagai salah satu strategi penguatan citra organisasi yang efektif. “Publik berharap mendapatkan informasi terkait cerita-cerita baik dan inspiratif dari korporasi,” katanya. “Nah, pelaksanaan CSR dan ESG sangat relevan dengan kebutuhan publik terhadap informasi tersebut,” imbuhnya.

Informasi mengenai proses dan capaian CSR dan ESG yang dilakukan oleh korporasi ini selanjutnya dikomunikasikan secara berkala di berbagai kanal komunikasi, seperti media sosial dan media massa yang relevan. Di samping itu, korporasi juga harus mengomunikasikan isu tersebut secara langsung, baik melalui diskusi atau forum. “Kuncinya adalah merancang dan mengomunikasikan pesan CSR dan ESG secara tepat dan relevan kepada stakeholder,” katanya.

Perdalam Kompetensi

Dalam mengomunikasikan kedua isu ini, praktisi komunikasi perlu menambah pengalaman dan jam terbang. Salah satunya, lebih banyak berinteraksi dengan isu-isu yang berkaitan dengan aspek sosial dan lingkungan. Praktisi komunikasi juga harus mengetahui berbagai perkembangan dan informasi terkini, memiliki pemikiran yang terbuka terhadap berbagai perubahan, dan berpikir kritis. Di satu sisi, praktisi komunikasi juga harus memahami audiens sasarannya. Sebab, setiap audiens memiliki tingkat penerimaan yang berbeda terhadap kedua isu ini. Apalagi rentang audiens dalam isu ini sangat luas, mulai dari investor, top management, hingga masyarakat sekitar operasional organisasi. Dengan memahami audiens, kata pria yang aktif mengajar di Universitas Sebelas Maret ini, praktisi komunikasi dapat merancang strategi komunikasi yang tepat.

Menurut Miftah, sertifikasi manajemen komunikasi juga menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh praktisi komunikasi. Apalagi belum banyak praktisi komunikasi yang menguasai manajemen komunikasi di kedua bidang ini. Dengan adanya sertifikasi, praktisi komunikasi dapat menyampaikan isu CSR dan ESG secara lebih mendalam, berdampak, dan relevan bagi masyarakat. “Sertifikasi Manajemen Komunikasi ini dapat menjadi bagian penapisan awal bagi organisasi yang mencari talenta di bidang komunikasi yang kompeten,” pungkasnya. (rvh)

Pentingnya Pemahaman Manajemen Komunikasi dalam CSR dan ESG

Dalam mengomunikasikan isu corporate social responsibility (CSR) dan environmental social governance (ESG), praktisi komunikasi harus memahami manajemen komunikasi. Hal ini supaya program dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

Lima tahun terakhir, isu ESG mulai populer di tingkat internasional hingga nasional. Tak hanya hanya sebagai pekerjaan rumah, ESG juga sebagai agenda utama organisasi. Sebab, ESG berkaitan erat dengan komitmen perusahaan dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan. Sehingga menjadi penting untuk memastikan perusahaan menerapkan prinsip-prinsip yang ada pada ESG, baik itu lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Memang, CSR lebih dulu populer dibanding ESG. Namun, bagi organisasi, dalam konteks implementasi, ESG dan CSR memiliki kaitan erat. Meskipun tidak semua ESG adalah CSR, namun dengan melaksanakan CSR yang sesuai dengan tata kelola yang baik, maka jalan menuju ESG sudah semakin lebar.

Meskipun sudah mulai masuk ke ranah nasional, secara umum belum banyak masyarakat atau bahkan organisasi yang menaruh perhatiannya terhadap isu ini. Maka tantangannya adalah memperkenalkan konsep CSR dan ESG ini kepada masyarakat agar masyarakat lebih kritis terhadap barang dan jasa yang mereka konsumsi. Hal ini sulit, sebab biasanya upaya mengomunikasikan isu CSR dan ESG ini dianggap tidak realistis oleh sebagian masyarakat yang pragmatis. Sehingga isu-isu CSR dan ESG kerap dipandang sebelah mata.

Untuk menjawab tantangan ini, komunikasi CSR dan ESG harus dioptimalkan sebagai salah satu strategi penguatan citra organisasi yang efektif. Publik berharap mendapatkan informasi terkait cerita-cerita baik dan inspiratif. “Nah, pelaksanaan CSR dan ESG sangat relevan dengan kebutuhan publik terhadap informasi tersebut,” kata pakar CSR dan ESG Miftah Faridl Widhagdha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/2/2023). Maka organisasi harus mengomunikasikan proses dan capaian dari CSR maupun ESG ini melalui berbagai kanal media yang banyak digunakan oleh masyarakat, seperti media sosial dan komunikasi massa yang relevan. Di samping itu, organisasi harus mengomunikasikan isu ini secara langsung, baik melalui diskusi atau forum yang bisa dilakukan kepada stakeholders internal dan eksternal. Kuncinya adalah merancang dan mengomunikasikan pesan CSR dan ESG secara tepat dan relevan dengan publiknya.

Perdalam Kompetensi

Dalam mengomunikasikan kedua isu ini, praktisi komunikasi perlu menambah pengalaman dan jam terbang. Praktisi komunikasi harus lebih banyak berinteraksi dengan aspek sosial dan lingkungan, sehingga dapat merespon lewat program CSR dan ESG yang relevan dengan

kebutuhan sosial dan lingkungan. Untuk itu, praktisi komunikasi perlu terbuka terhadap perubahan, tetap berpikir kritis, dan selalu up to date.

Di samping itu, praktisi komunikasi harus memahami target audiens karena tiap audiens memiliki tingkat penerimaan yang berbeda terhadap kedua isu ini. “Rentang audiens dalam isu ini sangat luas, mulai dari investor, top management, hingga masyarakat sekitar operasional organisasi,” ujar pria yang juga aktif mengajar di Universitas Sebelas Maret ini. Dengan memahami audiens, praktisi komunikasi dapat merancang strategi komunikasi yang tepat.

Miftah menambahkan, sertifikasi manajemen komunikasi juga penting untuk menstandarisasi praktisi komunikasi terkhusus di bidang CSR dan ESG. Sebab, masih belum banyak praktisi komunikasi yang menguasai manajemen komunikasi di kedua bidang ini. Dengan adanya sertifikasi, praktisi komunikasi dapat menyampaikan isu CSR dan ESG yang mendalam, berdampak, dan relevan bagi masyarakat. “Bagi perusahaan atau organisasi yang mencari talenta terbaik, sertifikasi Manajemen Komunikasi ini juga penting sebagai bagian dari screening, sehingga perusahaan mendapatkan praktisi komunikasi yang kompeten,” pungkasnya. (rvh)