Dalam mengomunikasikan isu corporate social responsibility (CSR) dan environmental social governance (ESG), praktisi komunikasi harus memahami manajemen komunikasi. Hal ini supaya program dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Lima tahun terakhir, isu ESG mulai populer di tingkat internasional hingga nasional. Tak hanya hanya sebagai pekerjaan rumah, ESG juga sebagai agenda utama organisasi. Sebab, ESG berkaitan erat dengan komitmen perusahaan dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan. Sehingga menjadi penting untuk memastikan perusahaan menerapkan prinsip-prinsip yang ada pada ESG, baik itu lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Memang, CSR lebih dulu populer dibanding ESG. Namun, bagi organisasi, dalam konteks implementasi, ESG dan CSR memiliki kaitan erat. Meskipun tidak semua ESG adalah CSR, namun dengan melaksanakan CSR yang sesuai dengan tata kelola yang baik, maka jalan menuju ESG sudah semakin lebar.
Meskipun sudah mulai masuk ke ranah nasional, secara umum belum banyak masyarakat atau bahkan organisasi yang menaruh perhatiannya terhadap isu ini. Maka tantangannya adalah memperkenalkan konsep CSR dan ESG ini kepada masyarakat agar masyarakat lebih kritis terhadap barang dan jasa yang mereka konsumsi. Hal ini sulit, sebab biasanya upaya mengomunikasikan isu CSR dan ESG ini dianggap tidak realistis oleh sebagian masyarakat yang pragmatis. Sehingga isu-isu CSR dan ESG kerap dipandang sebelah mata.
Untuk menjawab tantangan ini, komunikasi CSR dan ESG harus dioptimalkan sebagai salah satu strategi penguatan citra organisasi yang efektif. Publik berharap mendapatkan informasi terkait cerita-cerita baik dan inspiratif. “Nah, pelaksanaan CSR dan ESG sangat relevan dengan kebutuhan publik terhadap informasi tersebut,” kata pakar CSR dan ESG Miftah Faridl Widhagdha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/2/2023). Maka organisasi harus mengomunikasikan proses dan capaian dari CSR maupun ESG ini melalui berbagai kanal media yang banyak digunakan oleh masyarakat, seperti media sosial dan komunikasi massa yang relevan. Di samping itu, organisasi harus mengomunikasikan isu ini secara langsung, baik melalui diskusi atau forum yang bisa dilakukan kepada stakeholders internal dan eksternal. Kuncinya adalah merancang dan mengomunikasikan pesan CSR dan ESG secara tepat dan relevan dengan publiknya.
Perdalam Kompetensi
Dalam mengomunikasikan kedua isu ini, praktisi komunikasi perlu menambah pengalaman dan jam terbang. Praktisi komunikasi harus lebih banyak berinteraksi dengan aspek sosial dan lingkungan, sehingga dapat merespon lewat program CSR dan ESG yang relevan dengan
kebutuhan sosial dan lingkungan. Untuk itu, praktisi komunikasi perlu terbuka terhadap perubahan, tetap berpikir kritis, dan selalu up to date.
Di samping itu, praktisi komunikasi harus memahami target audiens karena tiap audiens memiliki tingkat penerimaan yang berbeda terhadap kedua isu ini. “Rentang audiens dalam isu ini sangat luas, mulai dari investor, top management, hingga masyarakat sekitar operasional organisasi,” ujar pria yang juga aktif mengajar di Universitas Sebelas Maret ini. Dengan memahami audiens, praktisi komunikasi dapat merancang strategi komunikasi yang tepat.
Miftah menambahkan, sertifikasi manajemen komunikasi juga penting untuk menstandarisasi praktisi komunikasi terkhusus di bidang CSR dan ESG. Sebab, masih belum banyak praktisi komunikasi yang menguasai manajemen komunikasi di kedua bidang ini. Dengan adanya sertifikasi, praktisi komunikasi dapat menyampaikan isu CSR dan ESG yang mendalam, berdampak, dan relevan bagi masyarakat. “Bagi perusahaan atau organisasi yang mencari talenta terbaik, sertifikasi Manajemen Komunikasi ini juga penting sebagai bagian dari screening, sehingga perusahaan mendapatkan praktisi komunikasi yang kompeten,” pungkasnya. (rvh)