PR INDONESIA Wujudkan Indonesia Kompeten Lewat Sertifikasi

Kabar gembira datang dari tiga staf PR INDONESIA yang telah lulus uji kompetensi Manajemen Komunikasi. Hal ini membuktikan komitmen PR INDONESIA dalam mewujudkan SDM kompeten di bidang manajemen komunikasi.

Setelah mengikuti pelatihan dan konsultasi, tibalah saatnya ketiga staf PR INDONESIA mengikuti uji kompetensi Manajemen Komunikasi. Mereka adalah Redaktur PR INDONESIA Ratna Kartika, Reporter PR INDONESIA Rizka Vardya, dan Corporate Communications PR INDONESIA Friza Marrianty. Bertempat di kantor LSP Manajemen Komunikasi di Tangerang Selatan, Sabtu (8/10/2022), ketiga staf PR INDONESIA diuji kemahirannya dalam mengelola komunikasi oleh dua asesor. Adapun dua asesor tersebut adalah Manajer Mutu LSP ManKom Marni Jayanti dan Ketua Dewan Pengarah LSP ManKom Inadia Aristyavani.

Para peserta uji kompetensi selanjutnya melakukan sesi wawancara dengan para asesor. Pada tahap ini, peserta juga mempresentasikan tentang kompetensinya dengan melampirkan bukti-bukti kompetensi.

Saat pengumuman pun tiba. Hasilnya, ketiga peserta lulus uji kompetensi dan akan memperoleh gelar Certified Public Relations dan Certified in Communication Management Professional (CCMP).

Pendiri PR Society Magdalena Wenas yang turut hadir dalam uji kompetensi tersebut turut senang dan bangga. “Adanya sertifikasi ini membuktikan bahwa uji kompetensi di bidang pengelolaan komunikasi bisa diikuti oleh lintas profesi, bukan hanya public relations (PR) saja,” ujarnya. Hal ini mengingat Ratna dan Rizka bukan dari kalangan PR melainkan jurnalis.

Perempuan yang akrab disapa Magda ini berpesan agar peserta jangan puas dengan pencapaian mereka. “Yang terpenting adalah pengembangan diri dalam mengakses, membagikan ilmu pengetahuan, dan mencerdaskan sesama di bidang komunikasi,” kata lulusan Magister Komunikasi Erasmus University Rotterdam ini.

Open System

Magda berharap pemegang sertifikasi kompetensi manajemen komunikasi dapat menyesuaikan paradigma di bidang komunikasi terus berkembang. Salah satunya, peralihan paradigma dari old closed system ke new open system. Jika dulu komunikasi dipandang sebagai sistem tertutup, kini dengan adanya media digital, komunikasi menjadi semakin terbuka.

Magda mengatakan old closed system melihat komunikasi sebagai hal yang transaksional. “Penyampaian pesan satu arah dan statis,” ujarnya. Sekarang komunikasi bertujuan untuk membangun hubungan (relationship) yang mengedepankan percakapan, komunikasi yang

dinamis, dan kompleks. Adapun, kini audiens tak lagi sekadar melihat kampanye namun komitmen seseorang maupun organisasi.

Untuk itu, Magda mengatakan kompetensi tak hanya ditunjukkan lewat perkataan. Praktisi komunikasi harus mampu menunjukkan komitmen lewat perbuatan. “Dengan begitu, komunikator dapat membangun ikatan dengan audiensnya,” pungkasnya. (rvh)

Pentingnya Pemahaman Manajemen Komunikasi dalam CSR dan ESG

Dalam mengomunikasikan isu corporate social responsibility (CSR) dan environmental social governance (ESG), praktisi komunikasi harus memahami manajemen komunikasi. Hal ini supaya program dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

Lima tahun terakhir, isu ESG mulai populer di tingkat internasional hingga nasional. Tak hanya hanya sebagai pekerjaan rumah, ESG juga sebagai agenda utama organisasi. Sebab, ESG berkaitan erat dengan komitmen perusahaan dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan. Sehingga menjadi penting untuk memastikan perusahaan menerapkan prinsip-prinsip yang ada pada ESG, baik itu lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Memang, CSR lebih dulu populer dibanding ESG. Namun, bagi organisasi, dalam konteks implementasi, ESG dan CSR memiliki kaitan erat. Meskipun tidak semua ESG adalah CSR, namun dengan melaksanakan CSR yang sesuai dengan tata kelola yang baik, maka jalan menuju ESG sudah semakin lebar.

Meskipun sudah mulai masuk ke ranah nasional, secara umum belum banyak masyarakat atau bahkan organisasi yang menaruh perhatiannya terhadap isu ini. Maka tantangannya adalah memperkenalkan konsep CSR dan ESG ini kepada masyarakat agar masyarakat lebih kritis terhadap barang dan jasa yang mereka konsumsi. Hal ini sulit, sebab biasanya upaya mengomunikasikan isu CSR dan ESG ini dianggap tidak realistis oleh sebagian masyarakat yang pragmatis. Sehingga isu-isu CSR dan ESG kerap dipandang sebelah mata.

Untuk menjawab tantangan ini, komunikasi CSR dan ESG harus dioptimalkan sebagai salah satu strategi penguatan citra organisasi yang efektif. Publik berharap mendapatkan informasi terkait cerita-cerita baik dan inspiratif. “Nah, pelaksanaan CSR dan ESG sangat relevan dengan kebutuhan publik terhadap informasi tersebut,” kata pakar CSR dan ESG Miftah Faridl Widhagdha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/2/2023). Maka organisasi harus mengomunikasikan proses dan capaian dari CSR maupun ESG ini melalui berbagai kanal media yang banyak digunakan oleh masyarakat, seperti media sosial dan komunikasi massa yang relevan. Di samping itu, organisasi harus mengomunikasikan isu ini secara langsung, baik melalui diskusi atau forum yang bisa dilakukan kepada stakeholders internal dan eksternal. Kuncinya adalah merancang dan mengomunikasikan pesan CSR dan ESG secara tepat dan relevan dengan publiknya.

Perdalam Kompetensi

Dalam mengomunikasikan kedua isu ini, praktisi komunikasi perlu menambah pengalaman dan jam terbang. Praktisi komunikasi harus lebih banyak berinteraksi dengan aspek sosial dan lingkungan, sehingga dapat merespon lewat program CSR dan ESG yang relevan dengan

kebutuhan sosial dan lingkungan. Untuk itu, praktisi komunikasi perlu terbuka terhadap perubahan, tetap berpikir kritis, dan selalu up to date.

Di samping itu, praktisi komunikasi harus memahami target audiens karena tiap audiens memiliki tingkat penerimaan yang berbeda terhadap kedua isu ini. “Rentang audiens dalam isu ini sangat luas, mulai dari investor, top management, hingga masyarakat sekitar operasional organisasi,” ujar pria yang juga aktif mengajar di Universitas Sebelas Maret ini. Dengan memahami audiens, praktisi komunikasi dapat merancang strategi komunikasi yang tepat.

Miftah menambahkan, sertifikasi manajemen komunikasi juga penting untuk menstandarisasi praktisi komunikasi terkhusus di bidang CSR dan ESG. Sebab, masih belum banyak praktisi komunikasi yang menguasai manajemen komunikasi di kedua bidang ini. Dengan adanya sertifikasi, praktisi komunikasi dapat menyampaikan isu CSR dan ESG yang mendalam, berdampak, dan relevan bagi masyarakat. “Bagi perusahaan atau organisasi yang mencari talenta terbaik, sertifikasi Manajemen Komunikasi ini juga penting sebagai bagian dari screening, sehingga perusahaan mendapatkan praktisi komunikasi yang kompeten,” pungkasnya. (rvh)

Tangguh Hadapi “Tech Winter”

Setahun terakhir istilah tech winter sedang populer disebutkan oleh media-media di Indonesia. Istilah ini merujuk pada musim dimana perusahaan-perusahaan berbasis teknologi sedang mengalami situasi ekonomi yang sulit. Ini akibat dari merosotnya aliran pendanaan untuk perusahaan teknologi, sehingga berdampak pada cashflow.

Beberapa perusahaan teknologi di Indonesia tengah melakukan penyesuaian dengan situasi ini. “Setidaknya ada beberapa cara, diantaranya PHK massal dan re-strategi ke arah bisnis dan operasional yang lebih efisien,” ujar Ricky Iskandar, Corporate Communications Lead Forest Interactive Indonesia.

Bagi profesional komunikasi di bidang teknologi tentu ini tantangan besar. Lalu bagaimana tech communicator beradaptasi dengan situasi ini? Beberapa kuncinya adalah agility, upskilling, dan competent.

Pertama, agility. Di beberapa perusahaan, tech communicator tidak lagi fokus pada strategi komunikasi untuk reputasi korporasi. Mereka juga harus turut mengambil bagian di strategi bisnis, marketing, operasional, bahkan employer branding. “Growth mindset diperlukan di situasi ini, terlebih untuk menyelami dan mengimplementasikan strategi baru yang tidak hanya soal reputasi, namun juga keberlanjutan ekonomi perusahaan,” kata pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PR Society ini.

Kedua, upskilling. Dalam hal ini tidak hanya skill komunikasi bisnis, namun juga diperlukan skill diluar komunikasi yang terukur dan sesuai dengan proses bisnis perusahaan yang bersangkutan.

Terakhir adalah kompetensi. Kompetensi merupakan gabungan dari enam hal. Pertama, pengetahuan yakni informasi yang diperoleh dalam bidang tertentu. Kedua, keahlian yakni mendemonstrasikan kemampuan yang dipelajari. Ketiga, peran sosial yakni sikap dan nilai yang diproyeksikan kepada orang lain (outer-self). Keempat, citra diri yakni rasa identitas dan nilai seseorang (inner-self). Kelima, sifat yakni cara tertentu dalam bersikap. Terakhir, motif yaitu hal-hal yang mendorong seseorang dalam memperoleh prestasi, kekuasaan, pengaruh, dan afiliasi

Untuk itu, penting bagi komunikator, khususnya tech communicator mengikuti sertifikasi kompetensi. Dengan mengikuti sertifikasi kompetensi, tech communicator tidak saja dapat menambah kepercayaan diri, meningkatkan jenjang karier, menambah pengalaman, dan wawasan. Lebih dari itu, dapat menambah rekan, membangun jejaring sosial, dan mempertanggungjawabkan kemampuan juga kompetensinya. “Sertifikasi dapat membuktikan ketangkasan dan keahlian komunikasi bisnis,” ujar Ricky. (rvh)

Pentingnya Mengelola Kecerdasan Emosi dalam Kompetensi Komunikasi

Selain kecerdasan intelektual (IQ), praktisi komunikasi yang kompeten harus memiliki kecerdasan emosional (EQ). Sebab, kecerdasan emosi yang baik, akan menghasilkan output kerja yang baik pula.

Psikolog sekaligus penulis buku Emotional Intelligence Daniel Goleman telah mentransformasi cara dunia dalam mengedukasi anak-anak juga berelasi dengan keluarga dan teman.

Daniel mengajak orang tua tak hanya fokus pada IQ, namun juga mengasah EQ anak. Dalam bukunya, Daniel mengatakan bahwa EQ adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengelola emosi kita sendiri dengan cara positif. Cara ini berguna untuk menghilangkan stres, berkomunikasi secara efektif, berempati dengan orang lain, mengatasi tantangan, dan meredakan konflik.

Adapun edukasi sejak dini mengenai EQ ini akan berdampak pada perilaku bisnis sang anak di masa mendatang. Hal ini disampaikan oleh founder & Senior Adviser PR Society Communication Management Magdalena Wenas dalam webinar Communication Circle #3: Business Emotional Intelligence with Competence Communication, Kamis (30/3/2023). Emotional Intelligence (EI/EQ) meliputi kesadaran diri (self awareness), empati, motivasi, regulasi diri (self regulation), dan kemampuan sosial (social skills).

Dalam mengasah kecerdasan emosi sekaligus meningkatkan kompetensi komunikasi, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah pengetahuan tentang emosi yang meliputi pengenalan dan identifikasi tentang emosi diri sendiri serta mengenal emosi orang lain. Kedua yakni regulasi emosi, seperti mengelola ekspresi, kata-kata, dan emosi yang bersifat intens.

Masih seputar meningkatkan kompetensi komunikasi, Magda membagikan beberapa tips. Pertama, mendengarkan lawan bicara secara aktif dan seksama. Kedua, mengomunikasikan ide dengan jelas. Ketiga, mengedukasi diri sendiri tentang ide maupun emosi lawan bicara. Terakhir, meminta umpan balik.

Membentuk Masyarakat Kritis

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Amin Shabana menyampaikan pendapatnya terkait pentingnya kecerdasan emosional publik pada lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran memiliki tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Terkait hal tersebut, lembaga penyiaran juga harus memiliki kompetensi komunikasi sehingga dapat membangun bangsa ke arah yang lebih baik.

Sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, KPI telah menyediakan kanal-kanal untuk publik dalam memberikan kritik dan masukan. Sudah saatnya, KPI merangkul publik yang kritis demi keberlanjutan dunia penyiaran di Indonesia. “Ketika publik kritis, kecerdasan emosional mereka turut meningkat dalam menyeleksi konten siaran,” pungkasnya. (rvh)